Eksistensi Hukum Adat dalam Bidang Pertanahan

Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 18 B ayat (2) :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal 28 l ayat (3):

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

 Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.

Pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam bidang pertanahan salh satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam Penjelasan Umum angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalampertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”.

Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi “recognitie“, yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.

Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan.

Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.

Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. selanjutnya dalam penjelasan pasal 16 dinyatakan bahwa, Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari Hukum Adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna usaha bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna usaha bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hak guna bangunan bukan hak opstal. Lembaga erepacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Dalam pada itu, hak-hak adat yang bersifat bertentangan dengan Undang-undang ini tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur.Pasal 56 juga menjelaskan bahwa, Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat ……… sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini (UUPA).

Selanjutnya pengaturan mengenai pengakuan terhadap hak atas tanah menurut hukum adat diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini memberi batasan yang lebih jelas, yaitu:

Definisi:

1)   Hak ulayat dan yang serupa itu dari mesyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangjitan.

2)   Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

3)   Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atauopun atas dasar keturunan.

Pengakuan terhadap hak ulayat:

Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat stempat. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:

1)   terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

2)   terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

3)   terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.  Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada  dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.

Sayang sekali Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan ini tidak mengatur secara rinci tahapn yang harus dilakukan. Peraturan ini hanya mengamantkan pengaturan lebih lanjut oleh pemerinrah daerah masing-masing dimana masih terdapat masyarakat hukum adat.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengakuan terhadap hak atas tanah berdasar hukum adat dibatasi oleh beberapa hal:

  1. hak atas tanah adat masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-undang;
  2. eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat menjadi dasar penentuan pengakuan terhadap hak tanah adat.

Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat tercermin dalam kebijakan pertambangan, kehutanan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan kebijakan pemerih pusat atau pemerintah daerah yang lebih memihak kepentingan pemodal. Penggerusan eksistensi hak-hak adat dengan alasan kepentingan nasional sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan, hilangnya budaya, dan yang paling parah adalah hilangnya ciri dan kepribadian dalam berbangsa.

Sumber tulisan:

  1. Laporan Akhir Penelitian Hukum Eksistensi Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa,  Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham R.I, Tahun 2011;
  2. Undang-Undang Dasar 1945;
  3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
  4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Tinggalkan komentar